Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Pada Matematika
Menurut Saleh (2011), Model pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan aktifitas siswa, meningkatkan interaksi, meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran, dan meningkatkan motivasi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Sarfo dan Elen (2011), pembelajaran kooperatif bermanfaat bagi siswa dalam prestasi, motivasi, berpikir kritis, berpikir metakognitif, kepuasan bekerja, dan kemampuan sosial. Lebih lanjut mengenai aktivitas pembelajaran kooperatif meliputi: (1) negosiasi atau diskusi mengenai suatu permasalahan atau tujuan tertentu dengan anggota kelompok; (2) tanggung jawab untuk belajar secara individu sama baiknya dengan kelompok; (3) aktivitas diskusi kelompok, setiap anggota akan bertugas saling melengkapi; (4) menanamkan kemampuan sosial dalam berinteraksi dengan anggota kelompok (Daniel & Joanthan, 2010).
Menurut Davidson & Kroll (dalam Cheong 2010), belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung dalam lingkungan belajar berbentuk kelompok kecil, sehingga siswa dapat saling berbagi ide dan bekerja secara kolaboratif untuk menyelesaikan tugas akademik. Belajar kooperatif sesuai dengan paradigma bahwa manusia di samping sebagai makhluk individual juga adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu membutuhkan kerja sama dengan orang lain.
Belajar kooperatif tidak hanya bertujuan memahamkan siswa terhadap materi yang akan dipelajari, namun lebih menekankan pada melatih siswa untuk mempunyai kemampuan sosial, yaitu kemampuan untuk saling bekerjasama, saling memahami, saling berbagi informasi, saling membantu antar teman kelompok, dan bertanggung jawab terhadap sesama teman kelompok untuk mencapai tujuan umum kelompok (Lestari, 2008). Menurut Slavin (dalam Hasan, 2011) belajar kooperatif tidak hanya dituntut keberhasilan individu namun juga keberhasilan kelompok. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam belajar kooperatif siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi gender, etnis, dan kemampuan akademik untuk saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan bersama.
Vygotsky (dalam Slavin, 2009) menyatakan pertumbuhan kognitif berdasarkan pada interaksi siswa dengan teman sebayanya. Implikasinya adalah memberi kesempatan pada murid untuk belajar dengan guru atau teman yang lebih ahli. Penelitian menunjukkan adanya suatu peningkatan pada prestasi siswa, kemampuan sosial dan emosional, percaya diri dan harga diri, dan tanggung jawab ketika siswa bekerja secara kooperatif (Gunter et al., 2007). Vygotsky mengemukakan teorinya yang mendukung penggunaan pembelajaran kooperatif (Slavin, 2009). Vygotsky menyatakan pentingnya dukungan teman sebaya siswa yang mampu memacu siswa untuk berpikir lebih maju. Pembelajaran kooperatif mampu membuat anak terbuka dengan kata hatinya, sehingga mereka dapat menggali informasi satu sama lain dalam proses penalaran. Motivasi anak untuk belajar juga akan menajdi lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pandangan Bandura (dalam Zeyer, 2010), yaitu dengan adanya motivasi yang tinggi maka siswa akan mampu menyelesaikan tugas dengan baik.
Pembelajaraan kooperatif tipe GI (Group Investigation) dikembangkan oleh Shlomo dan Sharon di Universitas Tel Aviv (Hobri & Susanto, 2006). Group investigation adalah model belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok secara heterogen dilihat dari kemampuan dan latar belakang, baik dari segi jenis kelamin, suku, dan agama, untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik (Istikomah et al., 2010). Menurut Sharan (dalam Yasemin, 2010), group investigation merupakan suatu perencanaan serta pengorganisasian kelas secara umum di mana siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan inkuiri kooperatif, diskusi kelompok, dan perencanaan kooperatif dan proyek. Guru membentuk kelompok siswa yang terdiri dari dua sampai enam anak. Langkah selanjutnya adalah membagi tugas-tugas menjadi tugas individu yang berbeda, dan melakukan kegiatan yang diperlukan untuk mempersiapkan laporan kelompok. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan penemuannya di depan kelas.
Jacobs et al (dalam Yasa, 2009) menyatakan pembelajaran kooperatif tipe GI (group investigation) bermula dari perspektif filosofis John Dewey terhadap konsep belajar. Dewey menyatakan ide sentralnya tentang pendidikan, yaitu: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya berdasarkan pada motivasi intrinsik; (3) pengetahuan selalu berubah (berkembang) tidak tetap; (4) pembelajaran hendaknya berhubungan dengan keperluan dan minat siswa; (5) pendidikan hendaknya mencakup kegiatan yang dapat menuntun siswa untuk bekerja sama, saling memahami, dan mengerti satu sama lain; (6) pembelajaran hendaknya selalu berhubungan dengan dunia nyata atau lingkungan di sekitar siswa serta dapat bermanfaat untuk lingkungan itu sendiri. Gagasan-gasasan Dewey tersebut akhirnya diwujudkan dalam model GI yang kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Menurut Dewey dan Thelen dalam pendekatan GI tersebut, siswa dikelompokkan secara heterogen atas jenis kelamin dan etnik.
Slavin (2009) menyatakan bahwa GI merupakan suatu tipe seting pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam suatu kelompok kecil dengan menggunakan kooperatif inkuiri, diskusi kelompok, perencanaan maupun proyek kooperatif, kemudian siswa akan mempresentasikan temuannya di seluruh kelas. Berdasarkan peryataan ini dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe GI menuntut siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses berkelompok (Nurnadi et al., 2004). Sharan & Shlomo (1990) menyatakan bahwa pembelajaran GI sangat aktif digunakan untuk meningkatkan pembelajaran karena dapat memberikan kontrol belajar yang lebih banyak dibandingkan model pembelajaran yang lain. Vygotsky (dalam Santrock, 2008) menyatakan anak-anak dapat menyusun pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembelajaran kooperatif tipe GI, yang memfokuskan pada interaksi sosial.
Menurut Slavin dalam (1995), sintak dari model GI terdiri dari 6 tahapan yang meliputi pengelompokan (grouping), perencanaan (planning), penyelidikan (investigating), pengorganisasian (organizing), mempresentasikan (presenting), pengevaluasian (evaluating).
Seting pembelajaran kooperatif GI menekankan kegiatan belajar lebih berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator yang dinamis (Santyasa & Suwindra, 2008). Seting pembelajaran kooperatif GI adalah seting pembelajaran yang menggabungkan teknik kooperatif dan inkuiri. Seting pembelajaran ini membentuk siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan inkuiri kooperatif untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang sedang dipelajari, mengutamakan lingkungan demokratis, serta aktivitas mental dan praktikal yang tinggi untuk mengkonstruksi makna (Lestari, 2008). Semua aktivitas tersebut diwujudkan dalam investigasi kelompok yang mengkaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena dunia nyata. Siswa diberikan kebebasan untuk membentuk kelompok sendiri, dan menentukan topik maupun sub topik untuk dibahas dalam kelompoknya.
Santrock (2008) menyatakan model pembelajaran GI menggunakan kombinasi pembelajaran independen dan kerja kelompok tim beranggotakan 2-6 orang dan menggunakan penghargaan kepada klompok atas prestasi individual. Guru memilih masalah untuk dipelajari di kelas, tetapi siswa memutuskan apa yang ingin mereka pelajari dalam mengeksplorasi masalah tersebut. Kauchak & Paul (2007) menyatakan dalam mengimplementasikan group investigation, peran guru berubah dari penyebar informasi menjadi fasilitator dan seorang sumber. Guru sebagai fasilitator bergerak di sekeliling kelas untuk membantu siswa bekerja sama dalam kelompoknya masing-masing.
Ada beberapa hal penting yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu (Jacobs et al., dalam Yasa, 2009): (1) menghindarkan evaluasi menggunakan tes; (2) learning by doing; (3) membangun motivasi intrinsik; (4) mengutamakan pilihan siswa; (5) memperlakukan siswa sebagai orang yang mampu bertanggung jawab; (6) pertanyaan yang bersifat terbuka; (7) mendorong rasa saling menghormati dan membantu; dan (8) membangun konsep diri siswa yang positif.
GI mencakup empat komponen penting, yaitu investigasi, interaksi, interpretasi, dan motivasi intrinsik (Zingaro, 2008). Investigasi mengacu pada fakta-fakta bahwa focus dari kelompok selama proses inkuiri tentang topik yang dipilih. Interaksi adalah salah satu cirri dari semua metode pembelajaran kooperatif yang diperlukan siswa untuk mengeksplorasi ide dan saling membantu belajar. Interpretasi akan terjadi ketika kelompok mensintesis dan mengelaborasi temuan dari setiap anggota dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kejelasan ide-ide. Motivasi intrinsik muncul pada siswa dengan memberikan mereka suatu otonomi dalam proses investigasi.
Menurut Slavin (1995) bahwa keuntungan yang diperoleh dari proses pembelajaran yang menggunakan seting pembelajaran kooperatif adalah: (1) belajar lebih ekonomis, artinya bahwa apa yang diperoleh dari proses pembelajaran akan bertahan lama dalam benak siswa; (2) cenderung menambah semangat belajar, gairah belajar (antusias) baik pada guru maupun siswa; (3) siswa diharapkan mempunyai sikap ilmiah; (4) siswa mempunyai kemampuan memecahkan masalah, baik pada saat pembelajaran di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari; dan (5) fungsi kelompok yang baik akan terjadi sharing konsep-konsep dan pengetahuan prosedural selama mereka memecahkan masalah bersama.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran group investigation merupakan model pembelajaran yang sangat efektif digunakan untuk memperbaiki hasil belajar. Model ini mampu meningkatkan pemahaman siswa pada suatu konsep dan membuat siswa mengingatnya dalam waktu yang lebih lama yang juga menuju pada hasil belajar yang optimal. Pada tahap investigasi siswa sudah mulai mengumpulkan informasi, menganalisis data, maupun membuat kesimpulan terkait dengan permasalahan yang diselidiki. Jika permasalahan yang diselidiki berhubungan dengan kehidupan nyata siswa, serta siswa mampu memecahkan permasalahan dan membuat kesimpulan dengan mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyatanya, maka pembelajaran akan bermakna bagi siswa.
Comments
Post a Comment